Dikirim: 13 Jul 2021
Dikirim: 12 Jul 2021
Dikirim: 12 Jul 2020
index pengumuman

Jawa Timur - Indonesia
Telp. 0341-493635
Web: http://www.smptamansiswamalang.sch.id
Email: admin@smptamansiswamalang.sch.id
kontak kami

Silat Perisai Diri (PD)
Hari Latihan | : | Rabu, Kamis dan Sabtu |
Waktu Latihan | : | 14:00 - 15:30, 13:00 - 14;30 dan 10;00 - 11:30 |
Tempat Latihan | : | Aula dan Lapangan Sekolah |
Instruktur | : | Ki Eko Tristyo P., S.Pd dan Ki Anang Cahyo S., S.Pd |
SEJARAH PERISAI DIRI
Keluarga Silat Nasional Indonesia Perisai Diri adalah salah satu perguruan silat terbesar di Indonesia, dan salah satu pendiri IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia).
Pak Dirdjo (panggilan akrab RM Soebandiman Dirdjoatmodjo) lahir di Yogyakarta pada tanggal 8 Januari 1913 di lingkungan Keraton Paku Alam. Dia adalah putra pertama dari RM Pakoe Soedirdjo, buyut dari Paku Alam II. Sejak berusia 9 tahun dia telah dapat menguasai ilmu pencak silat yang ada di lingkungan keraton sehingga mendapat kepercayaan untuk melatih teman-temannya di lingkungan daerah Paku Alaman. Di samping pencak silat dia juga belajar menari di Istana Paku Alam sehingga berteman dengan Wasi dan Bagong Kusudiardjo.
Pak Dirdjo yang pada masa kecilnya dipanggil dengan nama Soebandiman atau Bandiman oleh teman-temannya ini, merasa belum puas dengan ilmu silat yang telah didapatkannya di lingkungan istana Paku Alaman itu. Karena ingin meningkatkan kemampuan ilmu silatnya, setamat HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool) atau sekolah pendidikan guru, dia meninggalkan Yogyakarta untuk merantau tanpa membawa bekal apapun dengan berjalan kaki. Tempat yang dikunjunginya pertama adalah Jombang,Jawa Timur.
Di sana dia belajar silat pada KH Hasan Basri, sedangkan pengetahuan agama dan lainnya diperoleh dari Pondok Pesantren Tebuireng. Di samping belajar, dia juga bekerja di Pabrik Gula Peterongan untuk membiayai keperluan hidupnya. Setelah menjalani gemblengan keras dengan lancar dan dirasa cukup, dia kembali ke barat. Sampai di Solo dia belajar silat pada Sayid Sahab. Dia juga belajar kanuragan pada kakeknya, Ki Jogosurasmo.
Dia masih belum merasa puas untuk menambah ilmu silatnya. Tujuan berikutnya adalah Semarang, di sini dia belajar silat pada Soegito dari aliran Setia Saudara. Dilanjutkan dengan mempelajari ilmu kanuragan di Pondok Randu Gunting Semarang. Rasa keingintahuan yang besar pada ilmu beladiri menjadikan Pak Dirdjo masih belum merasa puas dengan apa yang telah dia miliki. Dari sana dia menuju Cirebon setelah singgah terlebih dahulu di Kuningan. Di sini dia belajar lagi ilmu silat dan kanuragan dengan tidak bosan-bosannya selalu menimba ilmu dari berbagai guru. Selain itu dia juga belajar silat Minangkabau dan silat Aceh.
Tekadnya untuk menggabungkan dan mengolah berbagai ilmu yang dipelajarinya membuat dia tidak bosan-bosan menimba ilmu. Berpindah guru baginya berarti mempelajari hal yang baru dan menambah ilmu yang dirasakannya kurang. Dia yakin, bila segala sesuatu dikerjakan dengan baik dan didasari niat yang baik, maka Tuhan akan menuntun untuk mencapai cita-citanya. Dia pun mulai meramu ilmu silat sendiri. Pak Dirdjo lalu menetap di Parakan dan membuka perguruan silat dengan nama Eko Kalbu, yang berarti satu hati.
Di tengah kesibukan melatih, dia bertemu dengan seorang pendekar Tionghoa yang beraliran beladiri Siauw Liem Sie (Shaolinshi), Yap Kie San namanya. Yap Kie San adalah salah seorang cucu murid Louw Djing Tie melalui Hoo Tik Tjay alias Suthur. Menurut catatan sejarah, Louw Djing Tie merupakan seorang pendekar legendaris dalam dunia persilatan, baik di Tiongkok maupun di Indonesia, dan salah satu tokoh utama pembawa beladiri kungfu dari Tiongkok ke Indonesia. Dalam dunia persilatan, Louw Djing Tie dijuluki sebagai Si Garuda Emas dari Siauw Liem Pay. Saat ini murid-murid penerus Louw Djing Tie di Indonesia meneruskan perguruan kungfu Garuda Emas.
Pak Dirdjo yang untuk menuntut suatu ilmu tidak memandang usia dan suku bangsa lalu mempelajari ilmu beladiri yang berasal dari biara Siauw Liem (Shaolin) ini dari Yap Kie San selama 14 tahun. Dia diterima sebagai murid bukan dengan cara biasa tetapi melalui pertarungan persahabatan dengan murid Yap Kie San. Melihat bakat Pak Dirdjo, Yap Kie San tergerak hatinya untuk menerimanya sebagai murid.
Berbagai cobaan dan gemblengan dia jalani dengan tekun sampai akhirnya berhasil mencapai puncak latihan ilmu silat dari Yap Kie San. Murid Yap Kie San yang sanggup bertahan hanya enam orang, di antaranya ada dua orang yang bukan orang Tionghoa, yaitu Pak Dirdjo dan R Brotosoetarjo yang di kemudian hari mendirikan perguruan silat Bima (Budaya Indonesia Mataram). Dengan bekal yang diperoleh selama merantau dan digabung dengan ilmu beladiri Siauw Liem Sie yang diterima dari Yap Kie San, Pak Dirdjo mulai merumuskan ilmu yang telah dikuasainya itu.
Setelah puas merantau, dia kembali ke tanah kelahirannya, Yogyakarta. Ki Hajar Dewantoro (Bapak Pendidikan) yang masih Pakde-nya, meminta Pak Dirdjo mengajar silat di lingkungan Perguruan Taman Siswa di Wirogunan. Di tengah kesibukannya mengajar silat di Taman Siswa, Pak Dirdjo mendapatkan pekerjaan sebagai Magazijn Meester di Pabrik Gula Plered.
Pada tahun 1947 di Yogyakarta, Pak Dirdjo diangkat menjadi Pegawai Negeri pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Seksi Pencak Silat, yang dikepalai oleh Mochammad Djoemali. Berdasarkan misi yang diembannya untuk mengembangkan pencak silat, Pak Dirdjo membuka kursus silat melalui dinas untuk umum. Dia juga diminta untuk mengajar di Himpunan Siswa Budaya, sebuah unit kegiatan mahasiswa UGM (Universitas Gadjah Mada). Murid-muridnya adalah para mahasiswa UGM pada awal-awal berdirinya kampus tersebut. Pak Dirdjo juga membuka kursus silat di kantornya. Beberapa murid Pak Dirdjo saat itu di antaranya adalah Ir Dalmono, Prof Dr Suyono Hadi dan RM Bambang Moediono Probokusumo yang di lingkungan keluarga silat Perisai Diri akrab dipanggil Mas Wuk.
Tahun 1954 Pak Dirdjo diperbantukan ke Kantor Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, Urusan Pencak Silat. Murid-murid dia di Yogyakarta, baik yang berlatih di UGM maupun di luar UGM, bergabung menjadi satu dalam wadah HPPSI (Himpunan Penggemar Pencak Silat Indonesia) yang diketuai oleh Ir Dalmono.
Tahun 1955 dia resmi pindah dinas ke Kota Surabaya. Dengan tugas yang sama, yakni mengembangkan dan menyebarluaskan pencak silat sebagai budaya bangsa Indonesia, Pak Dirdjo membuka kursus silat yang diadakan di Kantor Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, Surabaya. Dengan dibantu oleh Imam Ramelan, dia mendirikan kursus silatPERISAI DIRI pada tanggal 2 Juli 1955.
Pengalaman yang diperoleh selama merantau dan ilmu beladiri Siauw Liem Sie yang dikuasainya kemudian dicurahkannya dalam bentuk teknik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anatomi tubuh manusia, tanpa ada unsur memperkosa gerak. Semuanya berjalan secara alami dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Dengan motto "Pandai Silat Tanpa Cedera".